Beranda | Artikel
Tata Cara Shalat Safar - Silsilah Dauroh Fiqih Shalat
Selasa, 12 Maret 2019

Bersama Pemateri :
Ustadz Abu Yahya Badrusalam

Tata Cara Shalat Safar ini merupakan bagian dari pembahasan silsilah dauroh fiqih shalat yang disampaikan oleh Ustadz Abu Yahya Badrusalam, Lc. pada Ahad, 19 Shofar 1440 H / 28 Oktober 2018 M. di Masjid Al-Barkah, Kompleks Rodja, Cileungsi.

Download mp3 dauroh sebelumnya: Sifat Shalat Jum’at – Silsilah Dauroh Fiqih Shalat

Ringkasan Penjelasan Tata Cara Shalat Safar – Dauroh Sifat Shalat Nabi

Safar secara istilah adalah keluarnya seseorang dari tanah airnya atau dari negeri tempat tinggalnya ke suatu tempat dalam waktu dan jarak tertentu. Adapun pembahasan seputar safar:

1. Qashar

Qashar artinya mengurangi. Maksudnya yaitu menjadikan shalat yang berjumlah empat rakaat menjadi dua rakaat saja. Qashar berlaku untuk yang empat rakaat saja. Yaitu dzuhur, asyar, isya. Sedangkan maghrib dan subuh tidak bisa diqashar.

Namun terjadi ikhtilaf para ulama. Apa hukum mengqashar shalat dalam safar? Setelah semua sepakat bahwasannya qashar dalam safar itu disyariatkan. Namun yang menjadi perselisihan adalah apakah hukumnya wajib atau hukumnya sunnah?

Pendapat yang pertama, ulama Syafi’iyah, Malikiyah, Hanabilah berpendapat bahwasannya qashar itu rukhsah (sebagai sebuah keringanan) saja. Karena itu sifatnya rukhsah, maka diantara mereka terjadi perbedaan pendapat, apakah yang lebih utama diqashar atau tidak? Namun kebanyakan mereka berpendapat yang lebih utama adalah diqashar. Karena itu yang dilakukan oleh Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.

Dan juga Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

إِنَّ اللهَ يُحِبُّ أَنْ تُؤْتَى رُخَصُهُ

“Sesungguhnya Allah suka ketika rukhshah dari-Nya diambil” (HR. Ahmad)

Pendapat yang kedua, ini mazhab Hanafiyah dan sebagian Malikiyah. Ini adalah merupakan mazhab Dzhahiriyah Ibnu hazm. Bahwa qashar itu wajib.

Sekarang kita ingin mengetahui masing-masing dalil dari pendapat itu. Inilah yang disebut dengan perbandingan mazhab. Di Indonesia ini perbandingan mazhab harus kita cuatkan. Karena untuk menghilangkan fanatik madzhab.

Terkadang ada orang fanatik,  kalau bukan madzhab Syafi’i tidak mau. Kita katakan bahwa Imam Syafi’i ulama, Imam Ahmad bin Hambal ulama, Imam Malik ulama, Imam Abu Hanifah ulama, maka apabila mereka terjadi perbedaan pendapat, bagaimana kita menyikapinya?

Kalau terjadi perselisihan, Allah mengatakan:

فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّـهِ وَالرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّـهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ

Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian.” (QS. An-Nisa`[4]: 59)

Artinya kita lihat dalil dari masing-masing pendapat. Kemudian kita lihat siapa yang lemah dalilnya, siapa yang kuat dalilnya? Namun tentu itu sesuai dengan kemampuan masing-masing.

Dalil-dalil Qashar

Dalil pendapat jumhur yang mengatakan bahwa qashar adalah rukhsah saja sehingga tidak wajib yaitu firman Allah dalam surat An-Nisa’:

وَإِذَا ضَرَبْتُمْ فِي الْأَرْضِ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَن تَقْصُرُوا مِنَ الصَّلَاةِ إِنْ خِفْتُمْ أَن يَفْتِنَكُمُ الَّذِينَ كَفَرُوا

Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah berdosa kamu men-qashar shalat, jika kamu takut difitnah orang-orang kafir.” (QS. An-Nisa`[4]: 101)

Kata-kata “tidak berdosa kalian mengqashar shalat”, artinya itu boleh, itu adalah keringanan buat kalian. Namun apakah kata-kata “tidak berdosa” mutlak artinya tidak wajib? Bagaimana dengan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

فَمَنْ حَجَّ الْبَيْتَ أَوِ اعْتَمَرَ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِ أَن يَطَّوَّفَ بِهِمَا

“Barangsiapa yang haji atau umroh, maka tidak dosa ia tawaf di Ka’bah.” (QS. Al-Baqarah[2]: 158)

Tawaf di Ka’bah bagi orang yang haji dan umroh hukumnya sunnah atau wajib? Jawabnya adalah wajib. Bahkan rukun. Tapi Allah mengatakan “tidak dosa”.

Berarti kata-kata “tidak dosa” tidak mutlak menunjukkan tidak wajib. Sehingga dalil ini tidak bisa sebetulnya untuk dijadikan dalil. Masih bersifat umum.

Dalil yang kedua, sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Salam. Bahwa Umar bin Khattab bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tentang firman Allah Subhanahu wa Ta’ala yang saya sebutkan tadi (An-Nisa`[4]: 101).

Artinya Umar memahami berarti qashar itu dalam keadaan ketakutan saja. Maka Umar berkata bahwa sekarang sudah aman, apakah berarti qashar itu sudah tidak boleh lagi? Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

صَدَقَةٌ تَصَدَّقَ اللَّهُ بِهَا عَلَيْكُمْ فَاقْبَلُوا صَدَقَتَهُ

“Itu adalah shadaqah dari Allah untuk kalian. Maka, terimalah shadaqah-Nya.” (HR. Muslim)

Rasulullah menamai qashar itu sedekah. Sedangkan sedekah itu hukumnya sunnah. Namun mereka yang mengatakan wajib berpendapat bahwa justru hadits itu menunjukkan wajib. Buktinya Nabi mengatakan “Terimalah”, dan ini perintah. Sedangkan perintah menunjukkan kepada wajib.

Jumhur juga berdalil dengan perbuatan ‘Aisyah. Dimana ‘Aisyah Radhiyallahu ‘Anha pernah umroh tapi beliau tidak mengqashar. Akan tetapi ini hanya sebatas perbuatan beliau yang tentunya diselisihi oleh para Sahabat yang lain. Dan perbuatan Sahabat apabila diselisih Sahabat yang lainnya tidak bisa dijadikan hujjah.

Demikian pula perbuatan Utsman bin Affan yang beliau tidak mengqashar shalat disaat beliau haji. Akan tetapi ini pun juga kita katakan pendapat Utsman yang diselisihi Sahabat yang lainnya. Karena Ibnu Mas’ud tidak setuju dengan pendapat Utsman.

Beda kalau misalnya para Sahabat semuanya sepakat tanpa terkecuali. Maka pada waktu itu hujjah dan dalil. Atau misalnya ada seorang Sahabat yang berpendapat tapi ternyata tidak ada satupun Sahabat yang menyelisihi beliau. Maka Imam Syafi’i mengatakan bahwa ini pun hujjah.

Dalil mereka yang mewajibkan qashar:

Pertama, hadits ‘Aisyah. ‘Aisyah berkata:

فُرِضَتِ الصَّلَاةُ رَكْعَتَيْنِ رَكْعَتَيْنِ فِي الْحَضَرِ وَالسَّفَرِ، فَأُقِرَّتْ صَلَاةُ السَّفَرِ، وَزِيدَ فِي صَلَاةِ الْحَضَرِ

“Telah diwajibkan shalat, dua raka’at-dua raka’at, maka ditetapkan untuk shalat safar, dan ditambah (dua raka’at) shalat bagi yang tidak bepergian.” (HR. An-Nasa’i)

Berarti kata mereka bahwa kembali kepada asal, karena asal daripada shalat itu diwajibkan 2 rakaat 2 rakaat, kemudian ketika hijrah ditambah lah dzuhur asyar dan isya’ menjadi 4 rakaat. Tapi untuk safar tetap kembali ke asal. Berarti kalau kembali ke asal hukumnya wajib.

Akan tetapi jumhur berkata bahwa hadits ini tidak bisa dijadikan hujjah. Karena ini hanya sebatas pemberitahuan dari ‘Aisyah, bukan sedang menyebutkan tentang hukum wajib atau tidaknya. Demikian pula orang yang mengatakan wajib berdalil dengan hadits Umar bin Khattab. Dimana Umar bin Khattab berkata:

صَلَاةُ الْجُمُعَةِ رَكْعَتَانِ ، وَصَلَاةُ الْفِطْرِ رَكْعَتَانِ ، وَصَلَاةُ الْأَضْحَى رَكْعَتَانِ ، وَصَلَاةُ السَّفَرِ رَكْعَتَانِ تَمَامٌ غَيْرُ قَصْرٍ عَلَى لِسَانِ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

“Shalat Jum’at dua raka’at, shalat Idul Fitri dua raka’at, shalat Idul Adha dua raka’at, dan juga safar dua raka’at. Itu semua (dilaksanakan) sempurna bukan qashar, menurut lisan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.” (HR. An-Nasa’i)

Umar mengatakan bahwa shalat safar dua rakaat, shalat Idul Fitri dan Idul Adha dua rakaat, shalat Jum’at dua raka’at. Tapi itu sempurna, bukan qashar. Sehingga atas dasar itu kata mereka qashar wajib.

Diantara dalilnya juga, bahwa tidak pernah dinukil sekalipun bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam kalau safar melakukan shalat secara sempurna. Padahal Rasul sering safar, Rasulullah sering bepergian. Tapi tidak pernah dinukil sekalipun Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam shalat secara sempurna. Selalu beliau qashar.

Kalaulah itu hukumnya sebatas sunnah saja, tentu Nabi akan memberikan contoh sekali saja, beliau mempraktekkan shalat safar itu misalnya dzuhur empat rakaat. Tapi karena Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tidak pernah melakukan shalat secara sempurna didalam safar beliau, ini menunjukkan bahwa hukumnya wajib.

Maka kalau kita melihat, dalil orang yang mewajibkan sebetulnya lebih kuat kalau menurut pandangan saya yang lemah ini. Saya lebih memandang pendapat Hanafiah dan sebagian Malikiyah yang mengatakan bahwa qashar buat musafir itu wajib dalilnya lebih kuat.

Wallahu A’lam..

Batasan Safar

Ini adalah permasalahan yang pelik sekali. Para ulama berbeda pendapat. Kalau kita belajar fiqih pasti akan menemukan perselisihan. Tapi disitulah, dengan kita mengetahui perselisihan-perselisihan itu banyak sekali faedahnya. Sehingga sebagian ulama mengatakan bahwa siapa yang tidak memahami perselisihan ulama, hakikatnya dia bukan faqih.

Makanya lihat para ulama terdahulu, selalu mereka menguasai pendapat-pendapat ulama itu. Karena itu akan mematangkan keilmuan kita. Juga semakin menjadikan kita faqih dan faham bagaimana perbedaan para ulama didalam memahami suatu dalil.

Berbeda dengan orang yang tidak pernah belajar fiqih ikhtilaf, terkadang kaku sekali. Bahkan terkadang dia menganggap lawannya itu ahli bid’ah padahal masalahnya ijtihadiyah yang masih para ulama berbeda pendapat dalam masalah tersebut.

Tentu dalam masalah ini kita penting belajar tentang ikhtilaf para ulama dan tata cara mentarjihnya .

Pendapat pertama mengatakan jarak safar itu 48 mil (sekitar 80 KM). Dan ini pendapat Ibnu Umar, Ibnu Abbas, Al-Hasan Al-Bashri, Az-Zuhri dan ini mazhab Imam Malik, Imam Ahmad, Imam Syafi’i, Ishaq bin Rahuyah, Abu Tsaur, Al-Laits bin Sa’ad, mereka berpendapat itu.

Simak pembahasannya pada menit ke-19:12

Download MP3 Tentang Tata Cara Shalat Safar – Dauroh Sifat Shalat Nabi


Artikel asli: https://www.radiorodja.com/46794-tata-cara-shalat-safar-silsilah-dauroh-fiqih-shalat/